BAB I
KERAJAAN- KERAJAAN HINDU-BUDDHA DAN ISLAM
DI NUSANTARA
I.
Asal
-Usul Agama Hindu-Buddha di Indonesia
1.
Agama Hindu
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM.
Sumber ajaran Hindu terdapat dalam kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri
atas 4 Samhita atau “himpunan” yaitu:
- Reg
Weda, berisi syair puji-pujian kepada para dewa.
- Sama
Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.
- Yajur
Weda, berisi mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
- Atharwa
Weda, berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit.
Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memiliki kitab
suci lainnya yaitu:
- Kitab
Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.
- Kitab
Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak
dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
- Dewa
Brahmana, sebagai dewa pencipta.
- Dewa
Wisnu, sebagai dewa pemelihara dan pelindung.
- Dewa
Siwa, sebagai dewa perusak.
Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja
yaitu Dewa Indra pembawa hujan yang sangat penting untuk pertanian, serta Dewa
Agni (api) yang berguna untuk memasak dan upacara-upacara keagamaan. Menurut
agama Hindu masyarakat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut
Caturwarna yaitu:
- Kasta
Brahmana, terdiri dari para pendeta.
- Kasta
Ksatria, terdiri dari raja, keluarga raja, dan bangsawan.
- Kasta
Waisya, terdiri dari para pedagang, dan buruh menengah.
- Kasta
Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil, dan budak.
Selain 4 kasta tersebut terdapat pula golongan pharia
atau candala, yaitu orang di luar kasta yang telah melanggar aturan-aturan
kasta.
Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggap suci misalnya, Benares
sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat
mensucikan dosa umat Hindu, sehingga bisa mencapai puncak nirwana.
2. Agama Buddha
Agama Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama di India pada tahun ± 531 SM. Ayahnya seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddha artinya orang yang telah sadar dan ingin melepaskan diri dari samsara.
Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya “Tiga
Keranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli. Adapun yang dimaksud dengan Tiga
Keranjang adalah:
- Winayapittaka
: Berisi peraturan-peraturan dan hukum yang harus dijalankan oleh umat
Buddha.
- Sutrantapittaka
: Berisi wejangan-wejangan atau ajaran dari sang Buddha.
- Abhidarmapittaka
: Berisi penjelasan tentang soal-soal keagamaan.
Pemeluk Buddha wajib melaksanakan Tri Dharma atau
“Tiga Kebaktian” yaitu:
- Buddha
yaitu berbakti kepada Buddha.
- Dharma
yaitu berbakti kepada ajaran-ajaran Buddha.
- Sangga
yaitu berbakti kepada pemeluk-pemeluk Buddha.
Disamping itu agar orang dapat mencapai nirwana harus
mengikuti 8 (delapan) jalan kebenaran atau Astavidha yaitu:
- Pandangan
yang benar.
- Niat
yang benar.
- Perkataan
yang benar.
- Perbuatan
yang benar.
- Penghidupan
yang benar.
- Usaha
yang benar.
- Perhatian
yang benar.
- Bersemedi
yang benar.
Karena munculnya berbagai penafsiran dari ajaran
Buddha, akhirnya menumbuhkan dua aliran dalam agama Buddha yaitu:
- Buddha
Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya sendiri.
- Buddha
Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama dan
saling membantu.
Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yang
dianggap suci dan keramat yaitu:
- Kapilawastu,
yaitu tempat lahirnya Sang Buddha.
- Bodh
Gaya, yaitu tempat Sang Buddha bersemedi dan memperoleh Bodhi.
- Sarnath/
Benares, yaitu tempat Sang Buddha mengajarkan ajarannya pertama kali.
- Kusinagara,
yaitu tempat wafatnya Sang Buddha.
II.
Proses
Masuk dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha
Pada permulaan tarikh masehi, di
Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat peradabannya dianggap sudah
tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin hubungan ekonomi dan
perdagangan yang baik. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung
melalui jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewati
India-Cina adalah Selat Malaka. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang
dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki
keuntungan, yaitu:
- Sering
dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
- Kesempatan
melakukan hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
- Pergaulan
dengan bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
- Pengaruh
asing masuk ke Indonesia, seperti Hindu-Budha.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam
kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional menyebabkan timbulnya
percampuran budaya. India merupakan negara pertama yang memberikan pengaruh
kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Ada beberapa hipotesis yang
dikemukakan para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya
penyebaran budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari
penguasa Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara
keagamaan. Pendukung hipotesis ini adalah Van Leur.
2. Hipotesis Ksatria
Pada hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan
oleh kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering
terjadi peperangan antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah
atau jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara
mereka ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian
berusaha mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu
pula terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah
salah seorang pendukung hipotesis ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut para pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari
kelompok pedagang telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara.
Para pedagang banyak berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan
hubungan itu telah membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya
Hindu. N.J. Krom adalah salah satu pendukung dari hipotesis waisya.
4. Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang tejadi di India telah
menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka kemudian meninggalkan
India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang besar, diduga golongan
sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu ke Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang
menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan
disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya
India di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga
(Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang
sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan,
arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk
bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua
dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan
prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
A. Kerajaan Kutai
1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai
berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era Kutai Martadipura, dan (2), era
Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas sejarahnya.
a. Kutai
Martadipura
Berdasarkan
data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan ini diperkirakan muncul pada abad 5 M, atau ± 400 M. Keberadaan kerajaan
tersebut diketahui berdasarkan prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah,
yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Prasasti
Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut menceritakan
tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang menjadi raja di Kerajaan Kutai
Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja Aswawarman, dan cucu dari
Maharaja Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan Kerajaan Kutai Martadipura
ini sangat minim. Selama ini, para arkeologi amat bertumpu pada informasi
tertulis yang terdapat pada prasasti dan Salasilah Kutai.
b. Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai
Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala tempat ditemukannya peninggalan
Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan penambangan. Periode gelap
sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring berdirinya
Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama. Dalam perkembangannya,
Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan
Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan kerajaannya,
Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut
dinamakannyaKutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk
dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam
menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan.
Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad
Idris (1735-1778). Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama
pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng
yang juga menantunya itu, berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi,
kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M.
Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta kerajaan direbut
oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam
peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil
terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi
berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. Setelah dewasa,
Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kartanegara
kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang
Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini
dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan
terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan,
ibukota Kutai Kartanegara.Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para
bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji
Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC,
namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut berhasil merebut
kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelarSultan Aji
Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan diPulau
Jembayan.Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai
Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini
dilakukan untuk menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga,
Pemarangan (ibukota sebelumnya)dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja
berpindah ke Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi
Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambatlaun, Tangga Arung disebut orang
dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun
1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.
c. Era Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan
datangnya dua buah kapal dagang Inggris pimpinan James Erskine Murray pada
tahun 1844. Inggris datang untuk meminta tanah tempat mereka mendirikan pos
dagang. Inggris juga menuntut hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan
Mahakam. Permintaan Inggris ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan
hanya mengizinkan Murray berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas
dengan keputusan Sultan ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan
meriam ke arah istana. Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga
mereka berhasil mengalahkan
Inggris.
Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam
pertempuran tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini
sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendakmelakukan serangan balasan
terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda, bahwa Kutai adalah salah
satu bagian wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, masalah ini menjadi tanggungjawab
Belanda. Sebagai tindak lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya untuk
menyerang Kutai. Dalam pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima
KutaiAwang Lor gugur di medan pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin
diungsikan ke Kota Bangun. Sejak saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan
Belanda. Sebagai tindak lanjut, tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin
harus menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan
ketundukan pada Belanda. Perwakilan Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada
tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara
menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1888, pertambangan
batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal
Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama
di wilayah Kutai. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai
diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai
pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar
Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun
1945. Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja, masuk dalam
Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah kesultanan lainnya, seperti
Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir. Kemudian dibentuk pula Dewan
Kesultanan. Pada 27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia
Serikat.
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum
mengetahui secara lengkap silsilah para raja di era Kutai Martadipura. Tapi
diyakini bahwa, pendiri keluarga atau dinasti kerajaan ini adalah Aswawarman.
Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa, Aswawarman disebut sebagai Dewa
Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga raja.
Ini menunjukkan bahwa, Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai
pendiri keluarga atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang berkuasa
di Kutai Martadipura adalah Maharaja Kudungga. Berbeda dengan Kutai
Martadipura, silsilah para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di abad
ke-13 bisa dilacak secara lengkap. Berikut urutan raja-raja yang berkuasa
hingga saat ini.
1.
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2.
Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3.
Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
4.
Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
5.
Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6.
Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7.
Aji Dilanggar (1610-1635)
8.
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9.
Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10.
Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11.
Aji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)
12.
Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13.
Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14.
Aji Muhammad Idris (1732-1778)
15.
Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16.
Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17.
Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18.
Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19.
Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20.
Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
21.
H. Aji Muhammad Salehuddin II (1999-kini)
3. Periode Pemerintahan
Jika dirunut, masa pemerintahan Kutai
Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga pada abad ke-5 hingga digabungnya
kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai Kartanegara akibat kalah
perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak abad ke-13
hingga saat ini.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura
mencakup wilayah Kalimantan Timur saat ini, terutama daerah aliran Sungai
Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai Ing Martadipura, mencakup wilayah
yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur,
Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur Pemerintahan
Belum didapat data arkeologis yang
lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan di Kerajaan Kutai. Dari data
arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di Kerajaan ini, maka bisa
disimpulkan bahwa Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa
dilacak lebih lanjut, bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura
merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali bukti-bukti arkeologis yang
ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama ini, bukti tersebut terlalu
bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah naskah Salasilah Kutai. Namun,
dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa diungkap sedikit tentang
kehidupan sosial budaya di masa lalu.
a.
Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan
yang harmonis antara Raja Mulawarman dengan kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa
dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi
persembahan
emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana
di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci
untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakewara. Tidak
diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan
sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa
kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
b.
Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan
kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa dilihat dari prosesi penghinduan
(pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga upacara Vratyastoma yang
telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama
kalinya di era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para
ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, kemungkinan
sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana pribumi.
Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah memiliki
kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana mensyaratkan
penguasaan bahasa Sanskerta. Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang
berhasil ditemukan di Kalimantan Timur, menunjukkan di kawasan tersebut telah
eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban yang cukup tinggi. Bahkan ada
yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarikadalah
goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer
utara Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas
tembikar dan sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga
dilengkapi dengan hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan
ini diduga berasal dari zaman prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini
menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. Dalam penggalian lain di situs
sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, seperti reruntuhan
candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan keramik yang sangat
indah.
B. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara Atau Taruma Adalah Sebuah Kerajaan
Yang Pernah Berkuasa Di Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat Pada Abad Ke-4 Hingga
Abad Ke-7 M, Yang Merupakan Salah Satu Kerajaan Tertua Di Nusantara Yang
Diketahui. Dalam Catatan, Kerajaan Kerajaan
Tarumanegara Adalah Kerajaan Hindu Beraliran Wisnu. Kerajaan Tarumanegara Didirikan Oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman Pada Tahun 358, Yang Kemudian Digantikan Oleh
Putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman Dipusarakan Di Tepi Kali
Gomati, Sedangkan Putranya Di Tepi Kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman Adalah
Raja Kerajaan Tarumanegara Yang
Ketiga (395-434 M). Ia Membangun Ibukota Kerajaan Baru Pada Tahun 397 Yang
Terletak Lebih Dekat Ke Pantai. Dinamainya Kota Itu Sundapura Pertama Kalinya
Nama " Sunda " Digunakan. Pada Tahun 417 Ia Memerintahkan Penggalian
Sungai Gomati Dan Candrabaga Sepanjang 6112 Tombak (Sekitar 11 Km). Selesai
Penggalian, Sang Prabu Mengadakan Selamatan Dengan Menyedekahkan 1.000 Ekor
Sapi Kepada Kaum Brahmana.
Prasasti
Pasir Muara Yang Menyebutkan Peristiwa Pengembalian Pemerintahan Kepada Raja
Sunda Itu Dibuat Tahun 536 M. Dalam Tahun Tersebut Yang Menjadi Penguasa Kerajaan Tarumanegara Adalah
Suryawarman (535 - 561 M) Raja Kerajaan
Tarumanegara Ke-7. Pustaka Jawadwipa, Parwa I, Sarga 1 (Halaman 80 Dan
81) Memberikan Keterangan Bahwa Dalam Masa Pemerintahan Candrawarman (515-535
M), Ayah Suryawarman, Banyak Penguasa Daerah Yang Menerima Kembali Kekuasaan
Pemerintahan Atas Daerahnya Sebagai Hadiah Atas Kesetiaannya Terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau Dari
Segi Ini, Maka Suryawarman Melakukan Hal Yang Sama Sebagai Lanjutan Politik
Ayahnya.
Rakeyan Juru
Pengambat Yang Tersurat Dalam Prasasti Pasir Muara Mungkin Sekali Seorang
Pejabat Tinggi Kerajaan Tarumanegara
Yang Sebelumnya Menjadi Wakil Raja Sebagai Pimpinan Pemerintahan Di Daerah
Tersebut. Yang Belum Jelas Adalah Mengapa Prasasti Mengenai Pengembalian
Pemerintahan Kepada Raja Sunda Itu Terdapat Di Sana? Apakah Daerah Itu
Merupakan Pusat Kerajaan Sunda Atau Hanya Sebuah Tempat Penting Yang Termasuk
Kawasan Kerajaan Sunda? Baik Sumber-Sumber Prasasti Maupun Sumber-Sumber
Cirebon Memberikan Keterangan Bahwa Purnawarman Berhasil Menundukkan
Musuh-Musuhnya. Prasasti Munjul Di Pandeglang Menunjukkan Bahwa Wilayah
Kekuasaannya Mencakup Pula Pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, Parwa II
Sarga 3 (Halaman 159 - 162) Menyebutkan Bahwa Di Bawah Kekuasaan Purnawarman
Terdapat 48 Raja Daerah Yang Membentang Dari Salakanagara Atau Rajatapura (Di
Daerah Teluk Lada Pandeglang) Sampai Ke Purwalingga (Sekarang Purbolinggo) Di
Jawa Tengah. Secara Tradisional Cipamali (Kali Brebes) Memang Dianggap Batas
Kekuasaan Raja-Raja Penguasa Jawa Barat Pada Masa Silam.
Kehadiran
Prasasti Purnawarman Di Pasir Muara, Yang Memberitakan Raja Sunda Dalam Tahun
536 M, Merupakan Gejala Bahwa Ibukota Sundapura Telah Berubah Status Menjadi
Sebuah Kerajaan Daerah. Hal Ini Berarti, Pusat Pemerintahan Kerajaan Tarumanegara Telah Bergeser
Ke Tempat Lain. Contoh Serupa Dapat Dilihat Dari Kedudukaan Rajatapura Atau
Salakanagara (Kota Perak), Yang Disebut Argyre Oleh Ptolemeus Dalam Tahun 150
M. Kota Ini Sampai Tahun 362 Menjadi Pusat Pemerintahan Raja-Raja Dewawarman
(Dari Dewawarman I - VIII). Ketika Pusat Pemerintahan Beralih Dari Rajatapura
Ke Tarumanegara, Maka Salakanagara Berubah Status Menjadi Kerajaan Daerah.
Jayasingawarman Pendiri Kerajaan
Tarumanegara Adalah Menantu Raja Dewawarman VIII. Ia Sendiri Seorang
Maharesi Dari Salankayana Di India Yang Mengungsi Ke Nusantara Karena Daerahnya
Diserang Dan Ditaklukkan Maharaja Samudragupta Dari Kerajaan Magada.
Suryawarman
Tidak Hanya Melanjutkan Kebijakan Politik Ayahnya Yang Memberikan Kepercayaan
Lebih Banyak Kepada Raja Daerah Untuk Mengurus Pemerintahan Sendiri, Melainkan
Juga Mengalihkan Perhatiannya Ke Daerah Bagian Timur. Dalam Tahun 526 M,
Misalnya, Manikmaya, Menantu Suryawarman, Mendirikan Kerajaan Baru Di Kendan,
Daerah Nagreg Antara Bandung Dan Limbangan, Garut. Putera Tokoh Manikmaya Ini
Tinggal Bersama Kakeknya Di Ibukota Tarumangara Dan Kemudian Menjadi Panglima
Angkatan Perang Kerajaan Tarumanegara.
Perkembangan Daerah Timur Menjadi Lebih Berkembang Ketika Cicit Manikmaya
Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.
Kerajaan Tarumanegara Sendiri Hanya Mengalami Masa
Pemerintahan 12 Orang Raja. Pada Tahun 669, Linggawarman, Raja Kerajaan Tarumanegara Terakhir,
Digantikan Menantunya, Tarusbawa. Linggawarman Sendiri Mempunyai Dua Orang
Puteri, Yang Sulung Bernama Manasih Menjadi Istri Tarusbawa Dari Sunda Dan Yang
Kedua Bernama Sobakancana Menjadi Isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa Pendiri
Kerajaan Sriwijaya. Secara Otomatis, Tahta Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara Jatuh Kepada Menantunya Dari Putri
Sulungnya, Yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Kerajaan
Tarumanegara Berakhir Dengan Beralihnya Tahta Kepada Tarusbawa, Karena
Tarusbawa Pribadi Lebih Menginginkan Untuk Kembali Ke Kerajaannya Sendiri,
Yaitu Sunda Yang Sebelumnya Berada Dalam Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Atas Pengalihan Kekuasaan Ke Sunda Ini,
Hanya Galuh Yang Tidak Sepakat Dan Memutuskan Untuk Berpisah Dari Sunda Yang
Mewarisi Wilayah Kerajaan Tarumanegara.
Raja-Raja Kerajaan Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669
Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
1. Prasasti Kebon Kopi, Dibuat Sekitar 400 M (H Kern 1917), Ditemukan Di Perkebunan Kopi Milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, Ditemukan Di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Sekarang Disimpan Di Museum Di Jakarta. Prasasti Tersebut Isinya Menerangkan Penggalian Sungai Candrabaga Oleh Rajadirajaguru Dan Penggalian Sungai Gomati Oleh Purnawarman Pada Tahun Ke-22 Masa Pemerintahannya.
3. Prasasti Munjul Atau Prasasti Cidanghiang, Ditemukan Di Aliran Sungai Cidanghiang Yang Mengalir Di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, Berisi Pujian Kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan Tempat Prasasti Itu Ditemukan Berbentuk Bukit Rendah Berpermukaan Datar Dan Diapit Tiga Batang Sungai: Cisadane, Cianten Dan Ciaruteun. Sampai Abad Ke-19, Tempat Itu Masih Dilaporkan Dengan Nama Pasir Muara. Dahulu Termasuk Bagian Tanah Swasta Ciampea. Sekarang Termasuk Wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara Tempat Prasasti Ciaruteun Dan Telapak Gajah Ditemukan, Dahulu Merupakan Sebuah " Kota Pelabuhan Sungai " Yang Bandarnya Terletak Di Tepi Pertemuan Cisadane Dengan Cianten. Sampai Abad Ke-19 Jalur Sungai Itu Masih Digunakan Untuk Angkutan Hasil Perkebunan Kopi. Sekarang Masih Digunakan Oleh Pedagang Bambu Untuk Mengangkut Barang Dagangannya Ke Daerah Hilir.
Prasasti
Pada Zaman Ini Menggunakan Aksara Sunda Kuno, Yang Pada Awalnya Merupakan
Perkembangan Dari Aksara Tipe Pallawa Lanjut, Yang Mengacu Pada Model Aksara
Kamboja Dengan Beberapa Cirinya Yang Masih Melekat. Pada Zaman Ini, Aksara
Tersebut Belum Mencapai Taraf Modifikasi Bentuk Khasnya Sebagaimana Yang
Digunakan Naskah-Naskah (Lontar) Abad Ke-16. Prasasti Pasir Muara Di Bogor,
Prasasti Ditemukan Di Pasir Muara, Di Tepi Sawah, Tidak Jauh Dari Prasasti
Telapak Gajah Peninggalan Purnawarman. Prasasti Itu Kini Tak Berada Ditempat
Asalnya. Dalam Prasasti Itu Dituliskan :
Ini
Sabdakalanda Rakryan Juru Panga-Mbat I Kawihaji Panyca Pasagi Marsa-N Desa
Barpulihkan****Su-Nda Terjemahannya Menurut Bosch:
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Ciaruteun Ditemukan Pada Aliran Sungai Ciaruteun, Seratus
Meter Dari Pertemuan Sungai Tersebut Dengan Sungai Cisadane; Namun Pada Tahun
1981 Diangkat Dan Diletakkan Di Dalam Cungkup. Prasasti Ini Peninggalan
Purnawarman, Beraksara Palawa, Berbahasa Sansekerta. Isinya Adalah Puisi Empat
Baris, Yang Berbunyi:
Vikkrantasyavanipateh Shrimatah Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam Terjemahannya Menurut Vogel:
Kedua (Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Selain Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama " Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.
Vikkrantasyavanipateh Shrimatah Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam Terjemahannya Menurut Vogel:
Kedua (Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.
Selain Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama " Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.
Prasasti
Telapak Gajah, Prasasti Telapak Gajah Bergambar Sepasang Telapak Kaki Gajah
Yang Diberi Keterangan Satu Baris Berbentuk Puisi Berbunyi:
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Ukiran
Bendera Dan Sepasang Lebah Itu Dengan Jelas Ditatahkan Pada Prasasti Ciaruteun
Yang Telah Memancing Perdebatan Mengasyikkan Di Antara Para Ahli Sejarah
Mengenai Makna Dan Nilai Perlambangannya. Ukiran Kepala Gajah Bermahkota
Teratai Ini Oleh Para Ahli Diduga Sebagai " Huruf Ikal " Yang Masih
Belum Terpecahkan Bacaaanya Sampai Sekarang. Demikian Pula Tentang Ukiran
Sepasang Tanda Di Depan Telapak Kaki Ada Yang Menduganya Sebagai Lambang
Laba-Laba, Matahari Kembar Atau Kombinasi Surya-Candra (Matahari Dan Bulan).
Keterangan Pustaka Dari Cirebon Tentang Bendera Kerajaan Tarumanegara Dan Ukiran Sepasang " Bhramara "
(Lebah) Sebagai Cap Pada Mahkota Purnawarman Dalam Segala " Kemudaan
" Nilainya Sebagai Sumber Sejarah Harus Diakui Kecocokannya Dengan Lukisan
Yang Terdapat Pada Prasasti Ciaruteum.
Di Daerah
Bogor, Masih Ada Satu Lagi Prasasti Lainnya Yaitu Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Yang Terletak Di
Puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada Bukit
Ini Mengalir (Sungai) Cikasungka. Prasasti Inipun Berukiran Sepasang Telapak
Kaki Dan Diberi Keterangan Berbentuk Puisi Dua Baris:
Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam - Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.
Terjemahannya Menurut Vogel: Yang Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi Musuh-Musuhnya
Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam - Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.
Terjemahannya Menurut Vogel: Yang Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi Musuh-Musuhnya
C. Kerajaan Sriwijaya
1. Sejarah
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya
baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis
karangannya berjudul Le Royaume de
Crivijaya pada tahun 1918 M.Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu
pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti
peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kerna
masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai
nama seorang raja, karena Cri biasanya
digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang
Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chikuei-nai
fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as
Practised in India and the Malay Archipelago. Namun,
dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan
prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat
nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian
menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih
lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang,
dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from
Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fots‘ I adalah
Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa,
Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat
kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan
di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan
Sriwijaya. Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat
kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng
mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk
mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluarair) di bawahnya. Menurut
para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah
kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat
yangdisumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat
tersebut. Sebagaisarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang
pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan
Sriwijaya. Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat
kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di
situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya
di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa
dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan
hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang,yang
menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan
kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar
buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan
kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat
kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi
Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural),
tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara
daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai
untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang
mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan
zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada,
sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah
rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di
situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang
dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan),
seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan
Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang
ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja. Seiring perkembangan, semakin
banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota
Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga
Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo
(ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti
Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang
berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Ditempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama
Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan
taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama
Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat
dimakan. Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab.
Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing. Ia merupakan
seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa
kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu
orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut
sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India.
I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta,
setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di
Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal selama
beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang
datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.Dalam sumber
lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawanArab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu,digambarkan Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala,kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Dari catatan asing
tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya,
dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti
lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa,
pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik
dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin
bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan
di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai
mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijayadiserang oleh Dharmawangsa
dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu
melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa.
Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan
Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya
dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri,
walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
2.
Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas
pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal
ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak
664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara,
Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya
berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama
Dewi
Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram
Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga,
kemudian lahir BalaPutra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga
856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti
Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1.
Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2.
Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3.
Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4.
Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5.
Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6.
Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7.
Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8.
Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9.
Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10.
Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).
3.
Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad
ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan
Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan
Majapahit di Pulau Jawa.
4.
Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya
menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya
bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di
Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah
perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya
yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina.
Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi
wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan
Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan
JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh
petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi
Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu,
beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa
Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa
diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya
tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang
Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini
menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber
lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai
Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar
wilayah Nusantara.
5.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan
Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1.
Samraj, artinya berdaulat atas
rakyatnya.
2.
Indratvam, artinya memerintah
seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3.
Ekachattra. Eka berarti satu
dan chattra berarti payung.
Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra
menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden. Belum
diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah
satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai
panglima perang.
6.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut
agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk
mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan Itsing disebutkan
bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya,
I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa
Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar
ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang),
baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di
Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu
Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan
dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as
Practised in India and the
Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini
menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang
penting pada saat itu. Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih
merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India,
raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini
tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda,
yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang
berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang
Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya)yang membangun sebuah biara;
sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya,
Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan
kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan
Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari
Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang
Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad
14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn
al- Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di
antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu
cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau
dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.
D. Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya
kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
Sumber sejarah
yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
Kehidupan ekonomi, Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari
usahausaha yang ia lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
Kehidupan sosial-budaya, Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengiinkan penyusunan kitab
Sanghyang Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
1)
Rakyat Kediri pada umumnya telah
memiliki tempat tinggal yang baik,
layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk
berpakaian dengan baik.
layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk
berpakaian dengan baik.
2) Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati
bagi perampok.
3) Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja
para dewa.
E. Dinasti Isyana di Jawa Timur
1.
Asal-Usul
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa,
yaitu gelar Mpu Sindok setelah
menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa.
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu
Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu
pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang
memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu
Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa
(kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli
Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai
anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan
Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok
kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa
tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu
terletak di daerah Jombang sekarang.
Mpu Sindok
tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah
mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Namun ada
juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Isyana, antara
lain yang diajukan oleh Prof. Poerbatjaraka, Pusponegoro, dan Notosutanto.
Menurut versi ini, dalam Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa Syailendra, yang
semula beragama Hindu. Kemudian
muncul Wangsa Syailendra terpecah dengan munculnya anggota yang beragama Buddha.
Dengan kata
lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa Syailendra
yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa
Timur.
2.
Silsilah Keluarga
Silsilah
Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang
raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti
inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai
kelanjutan Wangsa Sanjaya.
Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja
ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari
perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang
kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu
dari Airlangga.
Ayah dari
Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali.
Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut
lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan
Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan
negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman
pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an)
Prasasti
Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua
sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa
Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh
prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja
Isyana Dharmawangsa.
Dengan
demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun
prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
3.
Daftar
Para Raja
Daftar para raja Wangsa Isyana dapat
disusun sebagai berikut,
- Mpu Sindok alias Maharaja Isyana
- Sri Isyanatunggawijaya,
memerintah bersama Sri Lokapala
- Makutawangsawardhana
- Dharmawangsa Teguh memerintah di Jawa, Mahendradatta
memerintah di Bali.
- Airlangga, putra Mahendradatta dan
menantu Dharmawangsa.
F.
Kerajaan Kediri
Ada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja
Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan
kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil
dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke
Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan
kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari
pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga
meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
1. Sistem pemerintahan kerajaan Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah :
1.Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
2.Kameshwara, Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
3.Jayabaya, Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
4.Prabu Sarwaswera, Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5.Prabu Kroncharyadipa, Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk) , masarya (iri hati).
6.Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
7.Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
2. RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
III.
Masuknya
Agama Islam di Indonesia
Sejarah
mencatat
bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan
kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan timbulnya
bandarbandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut.
Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang
dilakukan para mubaligh.
a. Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran
agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses
penyebaran agama Islam, baik pedagang
dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang
dan berdagang
di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit
para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak
dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di
tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin
musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai
bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan
agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui
perkawinan.
Di antara para pedagang
tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama
Islam. Mereka mengenalkan agama
dan budaya
Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah
ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama
Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam
di daerah
pesisir.
Penduduk setempat yang
telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang,
juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat
Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang
menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang
Islam.
Hal ini berlangsung
terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam,
yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah
lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
b. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat
berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang.
Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat
tinggal para pengusaha perkapalan.
Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional,
Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti
yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia.
Di bandar-bandar inilah
para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain
ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk
dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis
kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di
pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam perkembangannya,
bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan
ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten,
Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa,
Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam.
Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Peranan bandar-bandar
sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam
kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas
persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat
perkampungan orang Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten
dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri
yang hampir sama antara lain letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada
perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).
c. Peranan Para Wali dan Ulama
Salah satu cara
penyebaran agama Islam
ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam
juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama
pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan
dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan
pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan
jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping
itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana
pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa,
penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang
sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para
wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan
pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat
sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan
atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah seperti
berikut.
(1) Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa
Timur.
(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang
pembangunan Masjid Demak.
(3) Sunan Derajad (Syarifudin). Anak
dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama
di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim).
Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan
yang sangat bijaksana.
(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka
Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin,
pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan
lingkungan setempat.
(6) Sunan Giri (Raden Paku).
Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Menyiarkan agama dengan metode bermain.
(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan
Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid
dan Menara Kudus.
(8) Sunan Muria (Raden Umar Said).
Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa
Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9) Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang
pemimpin berjiwa besar
d.
Perkembangan Agama
Islam di Indonesia
Sejarah
mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah
memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Namun demikian, kapan
tepatnya Islam hadir di Nusantara?
Masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan berbagai teori. Meski
terdapat beberapa pendapat mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak
ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7
berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad
ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah
pantai barat Sumatra Utara.
Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini berdasarkan
catatan
perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada
tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam
Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297. Jika
diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara
Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak Perlak, yaitu di daerah Selat
Malaka, jalur laut perdagangan internasional dari barat ke timur. Berikutnya
ialah Kerajaan Samudra Pasai.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun
475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat
dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu
dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim
dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419
M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno.
Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam
keluarga istana Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh
bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu
Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno.
Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418
M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari
Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno.
Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua
orang penyiar agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan
Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan
Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di
Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang
bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal
masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut catatan
tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya, raja keempat
dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun penyiar agama Islam di daerah
ini berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik,
Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui bagian utara,
yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah
ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur,
Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.
IV.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Indonesia
A. Kerajaan Samudera Pasai
1. Sejarah
Kerajaan
Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M.
Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam
raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat
reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desaBeuringin, kecamatan
Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja
tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-
Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan
Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M).
Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak,
dengan raja pertama Malik al- Saleh.
Seorang
pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun
1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal
Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa
utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi
lain juga menyebutkan bahwa,
Sultan
Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini
membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan
itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India,
Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan
yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham.
Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat
perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan
oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh
kerajaan Aceh.
2. Silsilah
1.
Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2.
Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3.
Sultan Ahmad Laidkudzahi
4.
Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5.
Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)
3. Periode Pemerintahan
Rentang
masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga
16
M.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
5. Kehidupan Sosial-Budaya
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai
merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam.
Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu
kehidupan
yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya
mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi,
dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat
Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360
M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara.
Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf
al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya. Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu
tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari
Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah
dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di
Asia Tenggara pada masa itu.
B. Kerajaan Demak
Kerajaan
Demak adalah kerajaan Islam terbesar di
pantai utara Jawa ("Pasisir").
Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten)
dari kerajaan Majapahit, dan
tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Kerajaan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena
terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang
didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu
peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang
menurut tradisi didirikan oleh Walisongo. Lokasi
ibukota Kerajaan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan
dinamakan Bintara (dibaca
"Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini
telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode
ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai "Demak
Bintara". Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke "Prawata" (dibaca
"Prawoto").
1.Cikal-bakal
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit.
Demak
didirikan di perapat terakhir abad ke-15, kemungkinan besar oleh seorang
Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.
Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya
dijuluki "Pate Rodim",
mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal
sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta
dari tahun 1505 sampai
1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang
bertahta adalah parnya, raja Yunus dari Jepara.
Tradisi
Jawa menceritakan bahwa pada masa itu, arus kekuasaan mengerucut pada dua
adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara
Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat
dukungan dari Syekh Siti Jenar
2.
Di bawah Pati Unus
Demak
di bawah Pati Unus adalah
Demak yang berwawasan nusantara. Visi
besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa
kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan
adanya Portugis di Malaka,
kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu
3. Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa
atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai
menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta
menghalau tentara Portugis yang akan
mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan
(1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan
Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu
adalah Fatahillah, pemuda
asal Pasai (Sumatera), yang juga
menjadi menantu raja Trenggana. Trenggana
meninggal pada tahun 1546 dalam
sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan
kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
4. Kemunduran
Suksesi
ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik
Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran
Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta
keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera
Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta
Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal
ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya
berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak
angkat Joko Tingkir. Joko
Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di
sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.
C. Kerajaan Banten
Kesultanan
Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah
berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal
sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan
militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan
dalam penaklukan tersebut, dan mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan kemudian
hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan
sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan di masa-masa akhir pemerintanannya,
para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
1.
Pembentukan
awal
Pada
awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan
bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah
pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan
tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian
dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam
bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan
Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama
dengan Fatahillah melakukan
penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar
tahun 1527, yang waktu
itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain
mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia
berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura) dan
dianugerahi keris oleh raja
tersebut (Sultan Munawar Syah).
Seiring
dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten
yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi
kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik
tahta pada tahun 1570 melanjutkan
ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten
dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun
gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada
masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang
mengambil gelar "Sultan" pada
tahun 1638 dengan nama
Arab Abu
al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai
secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada
waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605
dan tahun 1629 kepada Charles I.
2.
Puncak
kejayaan
Kesultanan
Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Monopoli atas
perdagangan lada di Lampung,
menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara
dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang
penting pada masa itu.[9] Perdagangan
laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis.
Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten
berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa
Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang
sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang
mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga
telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan
jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang)
dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa
ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
3.
Perang
saudara
Sekitar
tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng
terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa,
namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh
Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke
arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian
ditahan di Batavia.
Sementara
VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang
berpangkat letnan beserta
pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan
Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.
Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan
diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput
Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia,
mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun
terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler
dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan
VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
4.
Penurunan
Bantuan
dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan
Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang
berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu
berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti
kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat
mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya
digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad
Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan
gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang
saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan
masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus
Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali
meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari
VOC.
5.
Penghapusan
kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk
mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[19] Daendels
memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan
menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan
dibangun di Ujung Kulon. Sultan
menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22
November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa
wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh
pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun
itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta
oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
6.
Agama
Berdasarkan
data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan
yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam
Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan
penyebaran agama Islam secara
intensif kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada
penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam
menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki
silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan
menempatkan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan
Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan
Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat
di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam
seperti hudud.
Toleransi
umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun
komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana
sekitar tahun 1673 telah
berdiri beberapa klenteng pada
kawasan sekitar pelabuhan Banten.
7.
Kependudukan
Kemajuan
Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara
kelompok etnis nusantara lain dengan
jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari
beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan
terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang,
sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang
yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan,
pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang
dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu
menggunakan tombak atau senapan berjumlah
sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun
kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk,
termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar
tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja
di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada
kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman
sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang
signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa
kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah
membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
8.
Perekonomian
Dalam
meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten,
selain di bidang perdagangan untuk
daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai
diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan
pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang
menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap
(penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga
dengan nama peralatanya seperti kujang, patik,
baliung, kored dan sadap.
Pada masa
Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30
dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang.
Di sepanjang kanal tersebut,
antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30
000-an petani ditempatkan
di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di
tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk
Banten meningkat signifikan.
Tak dapat
dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten
telah menjadi kota metropolitan, dengan
jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
9.
Pemerintahan
Setelah
Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara
dalam lingkaran istana terdapat
gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan
Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten
terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang
memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang
digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan
golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas
kaum ulama, pamong praja, serta kaum
jawara.
Pusat
pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan
tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang
dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana
dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang
kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat
kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi
pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan
dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota
Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi
yang dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu
pada kawasan kota terdapat
beberapa kampung yang
mewakili etnis tertentu,
seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan
Banten telah menerapkan cukai atas
kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar
yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar
yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
10.
Daftar
penguasa Banten
- Maulana Hasanuddin atau
Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf atau
Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
- Maulana Muhammad atau
Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
- Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau
Pangeran Ratu 1596 - 1647
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
- Sultan Ageng Tirtayasa atau
Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
- Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
- Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya 1687 - 1690
- Sultan Abul Mahasin Muhammad
Zainul Abidin 1690 - 1733
- Sultan Abul Fathi Muhammad
Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
- Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
- Sultan Arif Zainul Asyiqin
al-Qadiri 1753 - 1773
- Sultan Abul Mafakhir Muhammad
Aliuddin 1773 - 1799
- Sultan Abul Fath Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
- Sultan Abul Nashar Muhammad
Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
- Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
11.
Warisan
sejarah
Setelah
dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan
kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817
Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut
menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan
masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan
kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan
mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri
yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu
masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai
oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan
Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah
satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
D. Kerajaan Mataram
Kyai Ageng
Pemanahan bergelar Kyai Ageng Mataram. Mataram adalah nama daerah yang
dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Sultan Hadiwijoyo, Sultan di Kerajaan Pajang.
Karena Kyai Ageng Mataram bersama putranya Hangabehi Loring Pasar (Danang
Sutowijoyo) telah dapat mengalahkan Raden Adipati Aryo Penangsang pada tahun
1527 M di Jipang Panolan.
Kyai Ageng Pemanahan selanjutnya minta ijin kepada Sultan untuk menempati
daerah Mataram itu. Sultan Hadiwijoyo mengizinkan dan berpesan,” Seorang gadis
dari Kalinyamat itu supaya diasuh dan dijaga baik-baik. Apalagi sudah dewasa
hendaklah dibawa masuk ke Istana”.
Pesan itu disanggupi oleh Kyai Ageng Pemanahan, tetapi ia memohon agar
diperkenankan mengajak putra Sultan Hangabehi Loring Pasar untuk pindah ke
Mataram. Kyai Ageng Pemanahan sekeluarga berangkatlah menuju tlatah Mataram
disertai dua orang menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang.
Ditambah pula Nyi Ageng Nis istri Kyai Ageng Mataram dan penasehatnya Ki Ageng
Juru Martani. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pon tanggal 3 Rabiulawal
tahun Jimawal. Dalam perjalanan mereka singgah berziarah ke Istana Pengging
sehari semalam.
Kyai Ageng sekeluarga melakukan doa dan sembahyang, memohon petunjuk kepada
Tuhan, melakukan semedi dan shalat hajat, doanya ternyata diterima Tuhan,
muncul pertanda pepohonan seketika menjadi condong, tetapi pohon serat tinggal
tetap tegap. Setelah sembahyang subuh mereka berangkat menuju Mataram dan
berhenti di desa Wiyoro. Selanjutnya membangun sebuah desa yakni desa
Karangsari setelah singgah sementara waktu Kyai Ageng Pemanahan dan Ki Juru
Mertani mencari pohon beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kali Jogo untuk
tetenger di sanalah letaknya wilayah Mataram dimaksud.
Terdapatlah pohon tersebut di sebelah barat daya Wiyoro. Lalu memilih tanah
sebelah selatan beringin yang hendak dipakai sebagai halaman dan rumah untuk
bertempat tinggal Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga. Mereka bekerja keras,
hingga pembangunan rumah beliau selesai dalam waktu singkat. Kemudian rumah
baru segera ditempati Kyai Ageng Pemanahan yang kemudian tersohor namanya
dengan gelar Kyai Ageng Mataram. Banyak saudara asing ke Mataram sehingga
menambah ramai dan makmurnya Mataram (sekarang dikenal dengan nama Kotagede,
pusat kerajinan perak di Yogyakarta).
Sahdan gadis pingitan Sinuhun Sultan Hadiwijoyo yang berasal dari Kalinyamat
kini telah dewasa. Ngabehi Loring Pasar (Raden Danang Sutowijoyo) pun
telah dewasa. Ia mengganggu gadis pingitan tersebut. Hal ini segera diketahui
oleh ayahnya Ki Ageng Mataram. Anaknya dipanggil lalu bersabda:
Ki Ageng
Mataram; Anakku..mengapa kamu berani mengganggu gadis pingitan, alangkah
amarahnya Sinuhun nanti apabila mengetahui.
Raden Sutowijoyo berkata; ”Saya
berani melakukan hal itu, karena telah menerima wahyu.
KAM : Bagaimana kamu dapat
mengatakan demikian itu ?
R.S : Ya. Demikianlah ketika
mendengar daun nyiur jatuh ayah Sultan terkejut, lagi pula ketika hendak minum
air kelapa itu terkejut pula.
Kyai Ageng Mataram menyatakan, kini belum masanya dan mengajak putranya
mengharap untuk berjanji tetap setia. Keduanya berangkat, pergi ke kasultanan
Pajang. Sinuhun Sultan Hadiwijoyo sedang bercengkerama dihadap para putranya
dan keluarganya. Melihat kedatangan Kyai Ageng Mataram diantar putranya. Lalu
sesudah berjabat tangan Ngabehi Loring Pasar pun menghadap menghaturkan
sembah-bakti. Sinuhun bertanya dengan keheranan mengapa datang menghadap bukan
waktunya menghadap. Kyai Ageng Mataram menyatakan bahwa menghadapnya itu karena
putranya telah berdosa besar berani melanggar dan mengganggu gadis pingitan
dari Kalinyamat.
Dengan bijaksana Sinuhun Sultan Hadiwijoyo berkata,”Anak tidak berdosa, kalau
demikian memang salah saya, tidak memikirkan anak yang telah dewasa. Oleh
karena sudah terlanjur kamipun ikut menyetujui. Tetapi anak jangan dimurka,
pinta Sinuhun kepada Ki Ageng Mataram.
Waktu sudah berjalan sekian lama, karena usianya sudah uzur, Ki Ageng Mataram
gering lalu mangkat pada hari Senin Pon 27 Ruwah tahun Je 1533. Dimakamkan di
sebelah barat Istana Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Sementara itu, Ki
Jurumartani pergi ke negeri Pajang menghadapkan putra Ki Ageng Mataram. Sinuhun
lalu bercengkerama dengan Ki Jurumartani memberitahukan tentang mangkatnya Ki
Ageng Mataram, Sinuhun terkejut hatinya dan bersabda;
“Kakak Jurumartani, sebagai ganti dari penghuni Mataram ialah Ngabehi Loring
Pasar dan harap dimufakati dengan nama Pangeran Haryo Mataram Senopati Pupuh”.
Ki Jurumartani menyanggupi lalu mohon ijin kembali, peristiwa ini terjadi pada
tahun 1540. Lalu Pangeran Haryo Mataram diangkat pada tahun Dal 1551 bergelar
Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo yang menguasai tanah Jawa. Kemudian
menurunkan raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, demikian pula para Bupati di
pantai-pantai Jawa hingga sekarang.
Kanjeng Panembahan Senopati memegang kekuasaan kerajaan 13 tahun lamanya.
Sesudah gering kemudian mangkat, pada hari Jumat Pon bulan Suro tahun Wawu 1563.
Dimakamkan di sebelah barat Masjid di bawah ayahandanya. Selanjutnya putranya
yang menggantikan dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyokrowati.
Penobatannya dalam bulan yang bersamaan dengan wafatnya Kanjeng Panembahan
Senopati.
Pada suatu hari, Kanjeng Susuhunan pergi berburu rusa ke hutan. Dengan tiada
terasa telah berpisah dengan para pengantar dan pengawalnya, kemudian beliau
diserang punggungnya oleh rusa dan beliau jatuh ke tanah. Sinuhun diangkat ke
istana dan ia perintahkan memanggil kakanda Panembahan Purboyo.
Sinuhun bersabda, “Kakanda, andaikata kami sampai meninggal, oleh karena Gusti
Hadipati sedang bepergian, putramu Martopuro harap ditetapkan sebagai wakil
menguasai Negeri Mataram. Amanat tersebut disanggupi, Sinuhun terkenal dengan
gelar Sinuhun Seda Krapyak. Beliau mangkat pada bulan Besar, tuhan Jimawal 1565
dan dimakamkan di sebelah bawah makan ayahandanya, Panembahan Senopati.
Demikian sejarah singkat kerajaan Mataram, yang sampai saat ini terbukti masih
berdiri kokoh. Lalu dari keturunan manakah raja-raja besar Mataram ? Berikut
ini paparan silsilah leluhur
kerajaan Mataram:
1. Sinuhun Brawijaya V, raja
kerajaan Majapahit terakhir berputera Raden Bondan Kejawan yang
bergelar Kyai Ageng Tarub ke III.
2. Kyai Ageng Tarub III
mempunyai putra yakni Kyai Ageng Getas Pandowo.
3. Kyai Ageng Getas Pandowo
berputera Ki Ageng Selo.
4. Kyai Ageng Selo berputera Ki
Ageng Nis.
5. Ki Ageng Nis berputera Ki
Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram).
6. Ki Ageng Pemanahan berputera
Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo.
7. Kanjeng Panembahan Senopati
ing Ngalogo berputera Sinuhun Prabu Hanyokrowati.
8. Sinuhun Prabu Hanyokrowati
berputera Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Kalipatullah Panetep
Panatagama Senopati ing Prang
Bagi
kebanyakan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan Solo, percaya dengan kisah
mistik raja-raja Mataram yang berhubungan erat dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu Kidul entitasnya bukan lah sejenis jin, siluman atau setan, tetapi
merupakan wujud panitisan dari bidadari, yang turun ke dalam dimensi gaibnya
bumi (bukan alam ruh/barzah), berperan menjaga keseimbangan alam semesta
khususnya sepanjang pesisir selatan Jawa dan wilayah samodra selatan Nusantara.
Menjaga kelestarian alam dengan mencegah atau menghukum manusia yang tidak
menghormati alam semesta ciptaan Tuhan YME, atau manusia yang merusak
keseimbangan alam dengan cara mengambil kekayaan alam secara serakah dan tamak.
Kanjeng Ratu Kidul sebagaimana raja atau ratu gung binatara yang bijaksana dan
sakti mandraguna, manembah tunduk kepada Gusti Ingkang Akaryo jagad. Namun
demikian, Kanjeng Ratu Kidul tetap sebagai entitas mahluk halus, dalam arti
tidak memiliki raga atau jasad dalam bentuk fisik.
E. Kerajaan Makassar
a. Letak Kerajaan
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
b. Kehidupan Politik
Perkembangan pesat Kerajaan Makassar tidak terlepas dari raja-raja yang pernah memertntah seperti: Raja Alaudin Dalam abad ke-17 M, agama Islam berkembang cukup pesat di Sulawesi Selatan. Raja Makassar yang pertama memeluk agama Islam bernama Raja Alaudin yang memerintah Makassar dari tahun 1591-1638 M. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia pelayaran-perdagangan (dunia maritim). Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya kesejahteraan rakyat Kerajaan Makassar. Namun setelah wafatnya Raja Alauddin, keadaan pemerintahan kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti.
Sultan Hasanuddin Pada masa peme-rintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Makassar mencapai masa kejayaannya. Dalam waktu yang cukup singkat, Kera¬jaan Makassar telah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Cita-cita Sultan Hasanuddin untuk menguasai sepenuhnya jalur perdagang-an Nusantara, mendorong perluasan ke-kuasannya ke kepulauan Nusa Tenggara, seperti Sumbawa dan sebagian Flores. Dengan demikian, seluruh aktivitas pelayaran perdagangan yang melalui Laut Flores harus singgah lebih dulu di ibukota Kerajaan Makassar.
Keadaan seperti itu ditentang oleh Belanda yang memiliki daerah kekuasaan di Maluku dengan pusatnya Ambon. Hubungan Batavia dengan Ambon terhalang oleh kekuasaan Kerajaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dan Belanda sering menimbulkan peperangan. Keberanian Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Kerajaan Makassar untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku, mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya, Belanda memberi julukan kepada Sultan Hasanuddin dengan sebutan "Ayam Jantan dari Timur".
Dalam upaya menguasai Kerajaan Makassar, Belanda menjalin hubungan dengan Kerajaan Bone, dengan rajanya Arung Palaka. Dengan bantuan Arung Palaka, pasukan Belanda berhasil mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai ibukota kerajaan. Akhimya dilanjutkan dengan Perjanjian Bongaya (1667 M).
Mapasomba Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat berharap agar Mapasomba dapat bekerja sama dengan Belanda. Tujuannya agar Kerajaan Makassar tetap dapat bertahan. Ternyata Mapasomba jauh lebih keras dari ayahnya sehingga Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menghadapi Mapasomba. Pasukan Mapasomba berhasil di-hancurkan dan ia tidak diketahui nasibnya. Dengan kemenangan itu, akhirnya Belanda berkuasa atas Kerajaan Makassar.
F. Kerajaan
Ternate dan Tidore
1. Letak Kerajaan
Secara
geografis kerajaan Ternate
dan Tidore terletak di
Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Papua. Letak tersebut sangat strategis
dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Pada masa itu, kepulauan Maluku
merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga dijuluki sebagai “The Spicy
Island”. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada
saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan
bertujuan ke sana. Melewati rute perdagangan tersebut agama Islam meluas ke
Maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Keadaan seperti ini telah
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada abad ke 14 Masehi, di Maluku Utara telah berdiri 4 kerajaan yaitu
Jailolo,Ternate, Tidore, dan Bacan. Masing-masing kerajaan dipimpin oleh
seorang kolano. Keempat kerajaan tersebut berasal dari satu keturunan, yaitu
JAFAR SADIK, seorang bangsa Arab keturunan Nabi Muhammad saw. Kemajuan Ternate
membuat iri kerajaan lainnya. Beberapa kali keempat kerajaan tersebut terlibat
perang memperebutkan hegemoni rempah-rempah.
Namun, akhirnya mereka dapat mengakhirinya dalam perundingan di Pulau
Motir. Dalam persetujan Motir ditetapkan Ternate menjadi kerajaan pertama,
Jailolo kedua, Tidore yang ketiga, dan Bacan yang keempat. Kerajaan- kerajaan
di Maluku sangat akrab menjalin hubungan ekonomi dengan pedagang Jawa sejak
zaman Majapahit. Pedagang Maluku sering mengunjungi bandar seperti Surabaya,
Gresik, dan Tuban. Sebaliknya, pedagang Jawa datang ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah. Hubungan kedua belah pihak ini sangat berpengaruh terhadap
proses penyebaran agama islam di Indonesia. Sejak abad ke-13, Maluku sudah
ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam dari Jawa dan Melayu. Seiring
dengan ramainya perdagangan, berdatangan pula para mubaligh dari Jawa Timur
untuk mengajarkan agama Islam.Salah seorang mubaligh yang berjasa menyiarkan
agama islam di Maluku ialah Sunan Giri dari Gresik, Jawa Timur.
Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapatkan pengaruh Islam
dari para pedagang Jawa dan Melayu. Pusat pemerintahan Ternate terdapat di
Sampalu. Raja ternate yang pertama ialah Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Raja
Ternate yang terkenal ialah Sultan Harun. Hasil utama Ternate waktu itu ialah
cengkeh dan pala.
2. Kehidupan
Politik
Di
kepulauan Maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai
pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti
persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa Portugis masuk, Portugis
langsung memihak dan membantu Ternate, Hal ini dikarenakan Portugis mengira
Ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa Spanyol memihak Tidore akhirnya
terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan, Paus turun
tangan dan menciptakan perjanjian Saragosa. Dalam perjanjian tersebut bangsa
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis
tetap berada di Maluku.
Untuk
dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri
nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan Portugis semakin lama di benci oleh
rakyat dan para penjabat kerajaan Ternate. Oleh karena itu Sultan Hairun secara
terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa Portugis. Sultan
Baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang Portugis. Tahun 1575 M
Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.
3.
Kehidupan Ekonomi
Tanah di kepulauan Maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar Maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat.
4. Kehidupan Sosial
Kedatangan bangsa Portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama Katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius. Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa. Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat. Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
5. Kehidupan Budaya
Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk kebudayaan. Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore.
em .... good lucks ...
BalasHapusbagus banget isi artikel nya isi lengkap dan penyusunan tulisannya bagus, yang membuatnya mudah dipahami